Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image
Tampilkan postingan dengan label sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sejarah. Tampilkan semua postingan

Misteri Hiu Raksasa Pantai Sukomade

  • Kamis, 31 Mei 2012
  • nanoprudence
  • Labels:
  • Misteri Hiu Raksasa Pantai Sukomade / Mah kliwon



    Di kalangan nelayan Rajegwesi-Sukomade, Desa Sarongan Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, selain Nyi Roro Kidul, mereka kerap melihat sesosok ikan hiu raksasa. Hiu tersebut berukurun sebesar dua kali rumah tipe rumah sederhana (RS).

     Nelayan setempat memanggil hiu raksasa tersebut dengan nama Mbah Kliwon. Dinamakan Mbah Kliwon, lantaran hiu raksasa tersebut kerap menampakkan diri Jumat Kliwon, penanggalan Jawa.

    Di sekujur tubuh Mbah Kliwon ini dipenuhi dengan corak yang menyerupai huruf-huruf arab yang tersusun rapi seolah terangkai sebuah kalimat. Namun tak pernah ada yang bisa membacanya.

    "Mbah Kliwon kadang di sekitaran lokasi kami memancing ikan, sekitar Tanjungan" jelas nelayan yang mengaku bernama Priyono, kepada detiksurabaya.com di tepian Pantai Rajegwesi, Rabu (26/5/2010).

    Berjumpa dengan Mbah Kliwon, bagi nelayan bukan hal yang menakutkan. Justru hal yang diharapkan. Karena kemunculan hiu raksasa tersebut pertanda jika populasi ikan sedang melimpah. Selanjutnya akan berdampak baik pada hasil tangkapan nelayan.

    Untuk menghormati Mbah Kliwon, sebelum melaut di hari Jumat Kliwon, penanggalan Jawa, nelayan menggelar selamatan kecil dengan beberapa hidangan makanan. Tradisi tersebut dikemas dengan memanjatkan doa keselamatan pada Yang Maha Kuasa.

    Mbah Kliwon bukan hanya sesosok Hiu sebagai simbol rejeki nelayan. Hiu yang menurut warga, lebar mulutnya dua kali daun pintu tersebut terkadang 'membantu' saat nelayan mengalami kondisi genting di laut.

    "Tidak semua nelayan yang dibantunya. Hanya orang tertentu saja," jelas Ninik,
    juragan ikan di Pantai Rajegwesi, kepada detiksurabaya.com.

    Ninik mencontohkan kisah yang dialami oleh Nelayan Rajegwesi yang bernama Samuji. Samuji yang saat itu sedang melaut nyaris kehilangan nyawanya setelah perahunya pecah dihantam ombak besar.

    Bahkan tubuh Samuji tidak ditemukan lagi oleh nelayan lainnya yang melakukan
    pencarian selama beberapa jam. Namun keesokan paginya, mereka mendapati Samuji sudah berada di Pantai rajegwesi dalam kondisi selamat.

    Padahal lokasi tenggelamnya Samuji sangat berjauhan dengan bibir pantai. Warga
    akhirnya terkejut dengan pengakuan Samuji jika dirinya dibawa ke tepian oleh sesosok hiu raksasa.

    "Pak Samuji bilangnya dibawa ketepi pantai oleh ikan Hiu Raksasa,(Mbah Kliwon)"
    ujar Ninik menirukan pengakuan Samuji, yang saat ini menetap di Pulau Sulawesi
    mengikuti transmigrasi.

    Misteri Pendakian Gunung Raung

  • Sabtu, 26 Mei 2012
  • nanoprudence
  • Labels:
  • MISTERI GUNUNG RAUNG


    Keangkeran Gunung Raung sudah terlihat dari nama-nama pos pendakian yang ada, mulai dari Pondok Sumur, Pondok Demit, Pondok Mayit dan Pondok Angin. Semua itu mempunyai sejarah tersendiri hingga dinamakan demikian.

    Pondok Sumur misalnya, katanya terdapat sebuah sumur yang biasa digunakan seorang pertapa sakti asal Gresik. Sumur dan pertapa itu dipercaya masih ada, hanya saja tak kasat mata. Di Pondok Sumur ini, saat berkemah,juga terdengar suara derap kaki kuda yang seakan melintas di belakang tenda.
    Selanjutnya Pondok Demit, disinilah tempat aktivitas jual-beli para lelembut atau dikenal dengan Parset (Pasar Setan). Sehingga, padaMore… hari-hari tertentu akan terdengar keramaian pasar yang sering diiringi dengan alunan musik. Lokasi pasar setan terletak disebelah timur jalur, sebuah lembah dangkal yang hanya dipenuhi ilalang setinggi perut dan pohon perdu.

    Pondok Mayit adalah pos yang sejarahnya paling menyeramkan, karena dulu pernah ditemukan sesosok mayat yang menggantung di sebuah pohon. Mayat itu adalah seorang bangsawan Belanda yang dibunuh oleh para pejuang saat itu.

    Tak jauh dari Pondok Mayit, adalah Pondok Angin yang juga merupakan pondok terakhir atau base camp pendaki. Tempat ini menyajikan pemandangan yang memukau karena letaknya yang berada di puncak bukit, sehingga kita dapat menyaksikan pemandangan alam pegunungan yang ada disekitarnya. Gemerlapnya kota Bondowoso dan Situbondo serta sambaran kilat jika kota itu mendung, menjadi fenomena alam yang sangat luar biasa. Namun, angin bertiup sangat kencang dan seperti maraung-raung di pendengaran. Karenanya gunung ini dinamakan Raung, suara anginnya yang meraung di telinga terkadang dapat menghempaskan kita didasar jurang yang terjal.

    Sebelah barat yang merupakan perbukitan terjal itu adalah lokasi kerajaan Macan Putih, singgasananya Pangeran Tawangulun. Di sini, juga sering terengar derap kaki suara kuda dari kereta kencana. Konon, pondok Angin ini merupakan pintu gerbang masuk kerajaan gaib itu.
    Konon, di perbukitan yang mengelilingi kaldera itulah kerajaan Macan Putih berdiri. Sebuah kerajaan yang berdiri saat gunung ini meletus tahun 1638. Pusatnya terletak di puncak Gunung Raung. Kerajaan tersebut dipimpin oleh Pangeran Tawangulun. Beliau adalah salah-satu anak raja Kerajaan Majapahit yang hilang saat bertapa di gunung. Keberadaan kerajaan itu sedikit banyak masih memiliki hubungan yang erat dengan penduduk setempat. Misalnya bila terjadi upacara pernikahan di kerajaan, maka hewan-hewan di perkampungan banyak yang mati. Hewan-hewan itu dijadikan upeti bagi penguasa kerajaan.

    Konon, menurut masyarakat setempat, seluruh isi dan penghuni kerajaan Macan Putih lenyap masuk ke alam gaib atau dikenal dengan istilah mukso. Dan hanya pada saat tertentu, tepatnya setiap malam jum’at kliwon, kerajaan itu kembali ke alam nyata.

    Pangeran Tawangulun dipercaya merupakan salah satu suami dari Nyai Roro Kidul. Setiap malam jum’at itulah penguasa laut selatan mengunjungi suaminya. Biasanya, akan terdengar suara derap kaki kuda ditempat yang sakral. Suara tersebut berasal dari kereta kencana Sang Ratu yang sedang mengunjungi sang suami Pangeran Tawangulun. Bila mendengar suara tersebut lebih baik pura-pura tidak mendengar. Jika dipertegas, suara akan bertambah keras dan mungkin akan menampak wujudnya. Bila demikian, kemungkinan kita akan terbawa masuk ke alam gaib dan kemudian dijadikan abdi dalem kerajaan Macan Putih.

    Mengenal Tari Gandrung Banyuwangi

  • nanoprudence
  • Labels:
  • Tari Gandrung Banyuwangi 


    Gandrung Banyuwangi berasal dari kata "gandrung", yang berarti 'tergila-gila' atau 'cinta habis-habisan' dalam bahasa jawa. Kesenian ini masih satu genre dengan seperti ketuk tilu di Jawa Barat, tayub di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat, lengger di wilayah Banyumas dan joged bumbung di Bali, dengan melibatkan seorang wanita penari profesional yang menari bersama-sama tamu (terutama pria) dengan iringan musik(gamelan).

    Bentuk kesenian yang didominasi tarian dengan orkestrasi khas ini populer di wilayah Banyuwangi yang terletak di ujung timur Pulau Jawa, dan telah menjadi ciri khas dari wilayah tersebut, hingga tak salah jika Banyuwangi selalu diidentikkan dengan gandrung. Kenyataannya, Banyuwangi sering dijuluki Kota Gandrung dan patung penari gandrung dapat dijumpai di berbagai sudut wilayah Banyuwangi.

    Gandrung sering dipentaskan pada berbagai acara, seperti perkawinan, pethik laut, khitanan, tujuh belasan dan acara-acara resmi maupun tak resmi lainnya baik di Banyuwangi maupun wilayah lainnya. Menurut kebiasaan, pertunjukan lengkapnya dimulai sejak sekitar pukul 21.00 dan berakhir hingga menjelang subuh (sekitar pukul 04.00).

    Sejarah

    Menurut catatan sejarah, gandrung pertama kalinya ditarikan oleh para lelaki yang didandani seperti perempuan dan, menurut laporan Scholte (1927), instrumen utama yang mengiringi tarian gandrung lanang ini adalah kendang. Pada saat itu, biola telah digunakan. Namun demikian, gandrung laki-laki ini lambat laun lenyap dari Banyuwangi sekitar tahun 1890an, yang diduga karena ajaran Islam melarang segala bentuk transvestisme atau berdandan seperti perempuan. Namun, tari gandrung laki-laki baru benar-benar lenyap pada tahun 1914, setelah kematian penari terakhirnya, yakni Marsan.

    Gandrung wanita pertama yang dikenal dalam sejarah adalah gandrung Semi, seorang anak kecil yang waktu itu masih berusia sepuluh tahun pada tahun 1895. Menurut cerita yang dipercaya, waktu itu Semi menderita penyakit yang cukup parah. Segala cara sudah dilakukan hingga ke dukun, namun Semi tak juga kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi (Mak Midhah) bernazar seperti “Kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing” (Bila kamu sembuh, saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi). Ternyata, akhirnya Semi sembuh dan dijadikan seblang sekaligus memulai babak baru dengan ditarikannya gandrung oleh wanita.

    Tradisi gandrung yang dilakukan Semi ini kemudian diikuti oleh adik-adik perempuannya dengan menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama panggungnya. Kesenian ini kemudian terus berkembang di seantero Banyuwangi dan menjadi ikon khas setempat. Pada mulanya gandrung hanya boleh ditarikan oleh para keturunan penari gandrung sebelumnya, namun sejak tahun 1970-an mulai banyak gadis-gadis muda yang bukan keturunan gandrung yang mempelajari tarian ini dan menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian di samping mempertahankan eksistensinya yang makin terdesak sejak akhir abad ke-20.

    Tata busana penari Gandrung Banyuwangi khas, dan berbeda dengan tarian bagian Jawa lain. Ada pengaruh Bali (Kerajaan Blambangan) yang tampak.

    Bagian Tubuh

    Busana untuk tubuh terdiri dari baju yang terbuat dari beludru berwarna hitam, dihias dengan ornamen kuning emas, serta manik-manik yang mengkilat dan berbentuk leher botol yang melilit leher hingga dada, sedang bagian pundak dan separuh punggung dibiarkan terbuka. Di bagian leher tersebut dipasang ilat-ilatan yang menutup tengah dada dan sebagai penghias bagian atas. Pada bagian lengan dihias masing-masing dengan satu buah kelat bahu dan bagian pinggang dihias dengan ikat pinggang dan sembong serta diberi hiasan kain berwarna-warni sebagai pemanisnya. Selendang selalu dikenakan di bahu.

    Bagian Kepala

    Kepala dipasangi hiasan serupa mahkota yang disebut omprok yang terbuat dari kulit kerbau yang disamak dan diberi ornamen berwarna emas dan merah serta diberi ornamen tokoh Antasena, putra Bima] yang berkepala manusia raksasa namun berbadan ular serta menutupi seluruh rambut penari gandrung. Pada masa lampau ornamen Antasena ini tidak melekat pada mahkota melainkan setengah terlepas seperti sayap burung. Sejak setelah tahun 1960-an, ornamen ekor Antasena ini kemudian dilekatkan pada omprok hingga menjadi yang sekarang ini.

    Selanjutnya pada mahkota tersebut diberi ornamen berwarna perak yang berfungsi membuat wajah sang penari seolah bulat telur, serta ada tambahan ornamen bunga yang disebut cundhuk mentul di atasnya. Sering kali, bagian omprok ini dipasang hio yang pada gilirannya memberi kesan magis.

    Bagian Bawah

    Penari gandrung menggunakan kain batik dengan corak bermacam-macam. Namun corak batik yang paling banyak dipakai serta menjadi ciri khusus adalah batik dengan corak gajah oling, corak tumbuh-tumbuhan dengan belalai gajah pada dasar kain putih yang menjadi ciri khas Banyuwangi. Sebelum tahun 1930-an, penari gandrung tidak memakai kaus kaki, namun semenjak dekade tersebut penari gandrung selalu memakai kaus kaki putih dalam setiap pertunjukannya.

    Lain-lain

    Pada masa lampau, penari gandrung biasanya membawa dua buah kipas untuk pertunjukannya. Namun kini penari gandrung hanya membawa satu buah kipas dan hanya untuk bagian-bagian tertentu dalam pertunjukannya, khususnya dalam bagian seblang subuh.

    Musik Pengiring

    Musik pengiring untuk gandrung Banyuwangi terdiri dari satu buah kempul atau gong, satu buah kluncing (triangle), satu atau dua buah biola, dua buah kendhang, dan sepasang kethuk. Di samping itu, pertunjukan tidak lengkap jika tidak diiringi panjak atau kadang-kadang disebut pengudang (pemberi semangat) yang bertugas memberi semangat dan memberi efek kocak dalam setiap pertunjukan gandrung. Peran panjak dapat diambil oleh pemain kluncing.

    Selain itu kadang-kadang diselingi dengan saron Bali, angklung, atau rebana sebagai bentuk kreasi dan diiringi electone.


    Tahapan-Tahapan Pertunjukan

    Pertunjukan Gandrung yang asli terbagi atas tiga bagian:

    * jejer
    * maju atau ngibing
    * seblang subuh

    Jejer
    Jejer ini merupakan pembuka seluruh pertunjukan gandrung. Pada bagian ini, penari menyanyikan beberapa lagu dan menari secara solo, tanpa tamu. Para tamu yang umumnya laki-laki hanya menyaksikan.

    Maju
    Sehabis jejer selesai, maka sang penari mulai memberikan selendang-selendang untuk diberikan kepada tamu. Tamu-tamu pentinglah yang terlebih dahulu mend`pat kesempatan menari bersama-sama. Biasanya para tamu terdiri dari empat orang, membentuk bujur sangkar dengan penari berada di tengah-tengah. Sang gandrung akan mendatangi para tamu yang menari dengannya satu persatu dengan gerakan-gerakan yang menggoda, dan itulah esensi dari tari gandrung, yakni tergila-gila atau hawa nafsu.

    Setelah selesai, si penari akan mendatang rombongan penonton, dan meminta salah satu penonton untuk memilihkan lagu yang akan dibawakan. Acara ini diselang-seling antara maju dan repèn (nyanyian yang tidak ditarikan), dan berlangsung sepanjang malam hingga menjelang subuh. Kadang-kadang pertunjukan ini menghadapi kekacauan, yang disebabkan oleh para penonton yang menunggu giliran atau mabuk, sehingga perkelahian tak terelakkan lagi.

    Seblang subuh
    Bagian ini merupakan penutup dari seluruh rangkaian pertunjukan gandrung Banyuwangi. Setelah selesai melakukan maju dan beristirahat sejenak, dimulailah bagian seblang subuh. Dimulai dengan gerakan penari yang perlahan dan penuh penghayatan, kadang sambil membawa kipas yang dikibas-kibaskan menurut irama atau tanpa membawa kipas sama sekali sambil menyanyikan lagu-lagu bertema sedih seperti misalnya seblang lokento. Suasana mistis terasa pada saat bagian seblang subuh ini, karena masih terhubung erat dengan ritual seblang, suatu ritual penyembuhan atau penyucian dan masih dilakukan (meski sulit dijumpai) oleh penari-penari wanita usia lanjut. Pada masa sekarang ini, bagian seblang subuh kerap dihilangkan meskipun sebenarnya bagian ini menjadi penutup satu pertunjukan pentas gandrung.

    Perkembangan terakhir
    Kesenian gandrung Banyuwangi masih tegar dalam menghadapi gempuran arus globalisasi, yang dipopulerkan melalui media elektronik dan media cetak. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi pun bahkan mulai mewajibkan setiap siswanya dari SD hingga SMA untuk mengikuti ekstrakurikuler kesenian Banyuwangi. Salah satu di antaranya diwajibkan mempelajari tari Jejer yang merupakan sempalan dari pertunjukan gandrung Banyuwangi. Itu merupakan salah satu wujud perhatian pemerintah setempat terhadap seni budaya lokal yang sebenarnya sudah mulai terdesak oleh pentas-pentas populer lain seperti dangdut dan campursari.
    sumber: http://ykaditya.blogspot.com/

    Asal Mula Selat Bali

  • Jumat, 04 Mei 2012
  • nanoprudence
  • Labels:
  • asal usul terjadinya selat bali
    Asal Mula Terjadinya Selat Bali

    Pada jaman dahulu kala, ada seorang pemuda bernama Manik Angkeran. Ayahnya seorang Begawan yang berbudi pekerti luhur, yang bernama Begawan Sidi mantra. Walaupun ayahnya seorang yang disegani oleh masyarakat sekitar dan memiliki pengetahuan agama yang luas, tetapi Manik Angkeran adalah seorang anak yang manja, yang kerjanya hanya berjudi dan mengadu ayam seperti berandalan-berandalan yang ada di desanya.Mungkin ini karena ia telah ditinggal oleh Ibunya yang meninggal sewaktu melahirkannya. Karena kebiasaannya itu, kekayaan ayahnya makin lama makin habis dan akhirnya mereka jatuh miskin.

    Walaupun keadaan mereka sudah miskin, kebiasaan Manik Angkeran tidak juga berkurang, bahkan karena dalam berjudi ia selalu kalah, hutangnya makin lama makin banyak dan ia pun di kejar-kejar oleh orang-orang yang dihutanginya. Akhirnya datanglah Manik ketempat ayahnya, dan dengan nada sedih ia meminta ayahnya untuk membayar hutang-hutangnya. Karena Manik Angkeran adalah anak satu-satunya, Begawan Sidi Mantra pun merasa kasihan dan berjanji akan membayar hutang-hutang anaknya.

    Maka dengan kekuatan batinnya, Begawan Sidi Mantra mendapat petunjuk bahwa ada sebuah Gunung yang bernama Gunung Agung yang terletak di sebelah timur. Di Gunung Agung konon terdapat harta yang melimpah. Berbekal petunjuk tersebut, pergilah Begawan Sidi Mantra ke Gunung Agung dengan membawa genta pemujaannya.

    Setelah sekian lama perjalanannya, sampailah ia ke Gunung Agung. Segeralah ia mengucapkan mantra sambil membunyikan gentanya. Dan keluarlah seekor naga besar bernama Naga Besukih.
    “Hai Begawan Sidi Mantra, ada apa engkau memanggilku?” tanya sang Naga Besukih.
    “Sang Besukih, kekayaanku telah dihabiskan anakku untuk berjudi. Sekarang karena hutangnya menumpuk, dia dikejar-kejar oleh orang-orang. Aku mohon, bantulah aku agar aku bisa membayar hutang anakku!”
    “Baiklah, aku akan memenuhi permintaanmu Begawan Sidi Mantra, tapi kau harus menasehati anakmu agar tidak berjudi lagi, karena kau tahu berjudi itu dilarang agama!”
    “Aku berjanji akan menasehati anakku” jawab Begawan Sidi Mantra.
    Kemudian Sang Naga Besukih menggetarkan badannya dan sisik-sisiknya yang berjatuhan segera berubah emas dan intan.
    “Ambillah Begawan Sidi Mantra. Bayarlah hutang-hutang anakmu. Dan jangan lupa nasehati dia agar tidak berjudi lagi.”

    Sambil memungut emas dan intan serta tak lupa mengucapkan terima kasih, maka Begawan Sidi Mantra segera pergi dari Gunung Agung. Lalu pulanglah ia ke rumahnya di Jawa Timur. Sesampainya dirumah, di bayarlah semua hutang anaknya dan tak lupa ia menasehati anaknya agar tidak berjudi lagi, tetapi rupanya nasehat ayahnya tidak dihiraukan oleh Manik Angkeran. Dia tetap berjudi dan mengadu ayam setiap hari. Lama-kelamaan, hutang Manik Angkeran pun semakin banyak dan ia pun di kejar-kejar lagi oleh orang-orang yang dihutanginya. Dan seperti sebelumnya, pergilah Manik Angkeran menghadap ayahnya dan memohon agar hutang-hutangnya dilunasi lagi.

    Walaupun dengan sedikit kesal, sebagai seorang ayah, Begawan Sidi Mantra pun berjanji akan melunasi hutang-hutang tersebut. Dan segera ia pun pergi ke Gunung Agung untuk memohon kepada Sang Naga Besukih agar diberikan pertolongan lagi.

    Sesampainya ia di Gunung Agung, dibunyikannya genta dan membaca mantra-mantra agar Sang Naga Besukih keluar dari istananya.
    Tidak beberapa lama, keluarlah akhirnya Sang Naga Besukih dari istananya.
    “Ada apa lagi Begawan Sidi Mantra? Mengapa engkau memanggilku lagi?” tanya Sang Naga Besukih.
    “Maaf Sang Besukih, sekali lagi aku memohon bantuanmu agar aku bisa membayar hutang-hutang anakku. Aku sudah tidak punya apa-apa lagi dan aku sudah menasehatinya agar tidak berjudi, tapi ia tidak menghiraukanku.” mohon Begawan Sidi Mantra.
    “Anakmu rupanya sudah tidak menghormati orang tuanya lagi. Tapi aku akan membantumu untuk yang terakhir kali. Ingat, terakhir kali.”
    Maka Sang Naga menggerakkan tubuhnya dan Begawan Sidi Mantra mengumpulkan emas dan permata yang berasal dari sisik-sisik tubuhnya yang berjatuhan. Lalu Begawan Sidi Mantra pun memohon diri. Dan setiba dirumahnya, Begawan Sidi Mantra segera melunasi hutang-hutang anaknya.
    Karena dengan mudahnya Begawan Sidi Mantra mendaptkan harta, Manik Angkeran pun merasa heran melihatnya. Maka bertanyalah Manik Angkeran kepada ayahnya, “Ayah, darimana ayah mendapatkan semua kekayaan itu?”
    “Sudahlah Manik Angkeran, jangan kau tanyakan dari mana ayah mendapat harta itu. Berhentilah berjudi dan menyabung ayam, karena itu semua dilarang oleh agama. Dan inipun untuk terakhir kalinya ayah membantumu. Lain kali apabila engkau berhutang lagi, ayah tidak akan membantumu lagi.”
    Tetapi ternyata Manik Angkeran tidak dapat meninggalkan kebiasaan buruknya itu, ia tetap berjudi dan berjudi terus. Sehingga dalam waktu singkat hutangnya sudah menumpuk banyak. Dan walaupun ia sudah meminta bantuan ayahnya, ayahnya tetap tidak mau membantunya lagi. Sehingga ia pun bertekad untuk mencari tahu sumber kekayaan ayahnya.
    Bertanyalah ia kesana kemari, dan beberapa temannya memberitahu bahwa ayahnya mendapat kekayaan di Gunung Agung. Karena keserakahannya, Manik Angkeran pun mencuri genta ayahnya dan pergi ke Gunung Agung.

    Sesampai di Gunung Agung, segeralah ia membunyikan genta tersebut. Mendengar bunyi genta, Sang Naga Besukih pun merasa terpanggil olehnya, tetapi Sang Naga heran, karena tidak mendengar mantra-mantra yang biasanya di ucapkan oleh Begawan Sidi Mantra apabila membunyikan genta tersebut.
    Maka keluarlah San Naga untuk melihat siapa yang datang memangilnya.
    Setelah keluar, bertemulah Sang Naga dengan Manik Angkeran. Melihat Manik Angkeran, Sang Naga Besukih pun tidak dapat menahan marahnya.

    “Hai Manik Angkeran! Ada apa engkau memanggilku dengan genta yang kau curi dari ayahmu itu?”
    Dengan sikap memelas, Manik pun berkata “Sang Naga bantulah aku. Berilah aku harta yang melimpah agar aku bisa membayar hutang-hutangku. Kalau kali ini aku tak bisa membayarnya, orang-orang akan membunuhku. Kasihanilah aku.”
    Melihat kesedihan Manik Angkeran, Sang Naga pun merasa kasihan.
    “Baiklah, aku akan membantumu.” jawab Sang Naga Besukih.
    Setelah memberikan nasehat kepada Manik Angkeran, Sang Naga segera membalikkan badannya untuk mengambil harta yang akan diberikan ke Manik Angkeran. Pada saat Sang Naga membenamkan kepala dan tubuhnya kedalam bumi untuk mengambil harta, Manik Angkeran pun melihat ekor Sang Naga yang ada dipemukaan bumi dipenuhi oleh intan dan permata, maka timbullah niat jahatnya. Manik Angkeran segera menghunus keris dan memotong ekor Sang Naga Besukih. Sang Naga Besukih meronta dan segera membalikkan badannya. Akan tetapi, Manik Angkeran telah pergi. Sang Naga pun segera mengejar Manik ke segala penjuru, tetapi ia tidak dapat menemukan Manik Angkeran, yang ditemui hanyalah bekas tapak kaki Manik Angkeran.

    Maka dengan kesaktiannya, Sang Naga Besukih membakar bekas tapak kaki Manik Angkeran. Walaupun Manik Angkeran sudah jauh dari Sang Naga, tetapi dengan kesaktian Sang Naga Besukih, ia pun tetap merasakan pembakaran tapak kaki tersebut sehingga tubuh Manik Angkeran terasa panas sehingga ia rebah dan lama kelamaan menjadi abu.

    Di Jawa Timur, Begawan Sidi Mantra sedang gelisah karena anaknya Manik Angkeran telah hilang dan genta pemujaannya juga hilang. Tetapi Begawan Sidi Mantra tahu kalau gentanya diambil oleh anaknya Manik Angkeran dan merasa bahwa anaknya pergi ke Gunung Agung menemui Sang Naga Besukih. Maka berangkatlah ia ke Gunung Agung, sesampainya di Gunung Agung, dilihatnya Sang Naga Besukih sedang berada di luar istananya. Dengan tergesa-gesa Begawan Sidi Mantra bertanya kepada Sang Naga Besukih “Wahai Sang Besukih, adakah anakku Manik Angkeran datang kemari?”
    “Ya, ia telah datang kemari untuk meminta harta yang akan dipakainya untuk melunasi hutang-hutangnya. Tetapi ketika aku membalikkan badan hendak mengambil harta untuknya, dipotonglah ekorku olehnya. Dan aku telah membakarnya sampai musnah, karena sikap anakmu tidak tahu balas budi itu. Sekarang apa maksud kedatanganmu kemari, Begawan Sidi Mantra?”
    “Maafkan aku, Sang Besukih! Anakku Cuma satu, karena itu aku mohon agar anakku dihidupkan kembali.” mohon Sang Begawan.
    “Demi persahabatan kita, aku akan memenuhi permintaanmu. Tapi dengan satu syarat, kembalikan ekorku seperti semula.” kata Sang Naga Besukih.
    “Baiklah, aku pun akan memenuhi syaratmu!” jawab Begawan Sidi Mantra.
    Maka dengan mengerahkan kekuatan mereka masing-masing, Manik Angkeran pun hidup kembali. Demikian pula dengan ekor Sang Naga Besukih bisa kembali utuh seperti semula.

    Dinasehatinya Manik Angkeran oleh Sang Naga Besukih dan Begawan Sidi Mantra secara panjang lebar dan setelah itu pulanglah Begawan Sidi Mantra ke Jawa Timur. Tetapi Manik Angkeran tidak boleh ikut pulang, ia harus tetap tinggal di sekitar Gunung Agung. Karena Manik Angkeran sudah sadar dan berubah, ia pun tidak membangkang dan menuruti perintah ayahnya tersebut.

    Dan dalam perjalanan pulangnya, ketika Begawan Sidi Mantra sampai di Tanah Benteng, di torehkannya tongkatnya ke tanah untuk membuat batas dengan anaknya. Seketika itu pula bekas torehan itu bertambah lebar dan air laut naik menggenanginya. Dan lama kelamaan menjadi sebuah selat. Selat itulah yang sekarang di beri nama “Selat Bali”.