Mangrove Bedul Ecotourism
Ekowisata Mangrove Bedul di Desa Sumberasri, Kecamatan Purwoharjo, Banyuwangi, Jawa Timur, menjadi percontohan tingkat nasional dalam pengelolaan ekowisata mangrove berbasis masyarakat.
Melalui acara Shared-Learning "Pengembangan Ekowisata dalam Mendukung Konservasi Mangrove" yang diadakan Kementerian Kehutanan bersama Badan Kerjasama Internasional Jepang (JICA), delapan pemerintah daerah yang memiliki hutan mangrove belajar atas keberhasilan Banyuwangi mengelola ekowisata. Acara ini berlangsung sejak 28 Mei hingga 1 Juni 2012.
Menurut Kepala Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Kementerian Kehutanan, Murdoko, Banyuwangi dijadikan percontohan karena mampu mengelola ekowisata yang melibatkan semua stake-holder mulai Pemerintah Daerah, Taman Nasional Alas Purwo, Perhutani dan masyarakat pinggir hutan. "Pengelolaan ekowisata harus melibatkan semua pihak," kata Murdoko, Rabu, 30 Mei 2012.
Seluruh peserta diajak menjalani seluruh paket yang tersedia seperti atraksi kano, memantau burung migran, melihat penangkaran penyu, hingga menginap di home stay milik penduduk.
Hutan mangrove di Blok Bedul tumbuh di lahan seluas 2.300 hektare, membentang sepanjang 16 kilometer di pinggir segara anakan kawasan Taman Nasional Alas Purwo. Ada 27 jenis mangrove yang hidup dan merupakan terlengkap di Indonesia.
Hutan mangrove ini menjadi habitat aneka satwa seperti monyet, biawak, burung bangau, elang laut dan blibis. Bahkan pada bulan-bulan tertentu terdapat sekitar 16 jenis burung migran dari Australia, di antaranya cekakak suci (Halcyon chloris/Todirhampus sanctus), burung kirik-kirik laut (Merops philippinus), trinil pantai (Actitis hypoleucos), dan trinil semak (Tringa glareola).
Ekowisata dikelola Badan Pengelola Ekowisata Blok Bedul yang pengurusnya direkrut dari warga sekitar. Menurut Muhammad Riadi, Ketua Badan Pengelola, warga dilibatkan langsung dalam pengelolaan ekowisata. "Warga yang menjadi pemandu wisata, menyewakan perahu, membuat home stay, serta membuka warung makanan," ujarnya.
Keberhasilan pengelolaan ekowisata Bedul menyedot wisatawan asing maupun nusantara. Tahun 2009 wisatawan yang datang sebanyak 11 ribu orang, pada 2011 jumlahnya meningkat hingga 62 ribu orang.
Kepala Desa Sumberasri, Suyatno, bercerita sebelum ada ekowisata tersebut banyak warga desanya membabat hutan dan mencuri satwa di kawasan Taman Nasional Alas Purwo. "Ada sekitar 300 hingga 400 hektare lahan hutan yang kayunya dijarah penduduk," ucap Suyatno.
Berangkat dari kegelisahan itu, Suyatno kemudian memiliki gagasan untuk menjadikan hutan mangrove di daerahnya sebagai tempat wisata. Ide ini disambut oleh pengelola Taman Nasional Alas Purwo, Perhutani dan Pemerintah Banyuwangi.
Perencanaan bersama warga desanya mulai dibuat pada 2008 dan setahun kemudian obyek wisata itu mulai dibuka. "Persisnya pada Juli 2009 ekowisata Bedul dibuka untuk umum."
Hasilnya ternyata luar biasa. Pembukaan ekowisata itu mampu mengurangi secara drastis angka pembalakan dan pencurian satwa. Masyarakat pun tersadarkan bahwa hutan mangrove memiliki banyak manfaat, selain bagi lingkungan juga pariwisata.
Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Siti Nurul Rofiqo Irwan, mengatakan pengelolaan ekowisata berbasis masyarakat dapat menjadi solusi untuk pelestarian hutan mangrove di berbagai daerah di Indonesia yang luasnya semakin menyempit.
Sejak tahun 1999 hingga 2005, kata Nurul, luas hutan mangrove berkurang 5,58 juta hektare. "Sekarang hanya tersisa 3 juta hektare," tuturnya.
Menurut Kepala Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah I Denpasar, Sasmitohadi, hutan mangrove tak sekedar memiliki fungsi ekologis. Saat mangrove rusak, menurut dia, bisa dipastikan akan terjadi penurunan ekonomi secara drastis.
"Jika mangrove hilang, pendapatan masyarakat menurun. Jika mangrove kembali digalakkan tangkapan nelayan menjadi tinggi," katanya.
Sasmitohadi mencontohkan, pendapatan kelompok masyarakat Bedul yang berada di hutan mangrove Alas Purwo dari sektor ekowisata berkisar Rp70 juta per bulan. Pada musim-musim tertentu, penghasilan kelompok masyarakat ini bahkan dapat mencapai Rp100 juta per bulan.
Aktivitas ekowisata di kawasan mangrove Alas Purwo yang dikelola masyarakat, kata Sasmitohadi, adalah wisata di hutan mangrove, atraksi berperahu, pemancingan di hutan mangrove, dan pendidikan lingkungan.
Sementara itu, Bupati Abdullah Azwar Anas mengatakan, pihaknya sangat mengapresiasi upaya pelestarian mangrove yang digelar JICA bersama pemerintah. “Ke depan, kami berharap semua pihak khususnya pemkab dilibatkan secara konkret, sehingga bisa bersama-sama mengembangkan ekowisata,” paparnya. (Radar Banyuwangi)